Knowledge Management : Sebuah Pengantar
A. Pendahuluan (1)
1. Sejak awal tahun 90-an para pakar seperti Alvin Toffler (1990), Robert Reich (1991) , James Brian Quinn (1992), dan Peter Drucker (1993) menekankan tentang pentingnya pengetahuan (knowledge) dalam masyarakat dan perekonomian (society and economy) di akhir abad ke-20 dan pada abad ke-21. Menurut Drucker, di era ‘knowledge society’, pengetahuan bukan semata sebagai salah satu sumberdaya (a resource) bersama faktor-faktor produksi tradisional lain seperti buruh, tanah, dan modal, melainkan satu-satunya sumber daya (the only resource).
Toffler menyebut pengetahuan sebagai pengganti seluruh sumberdaya dan merupakan sumber kekuasaan tertinggi dan kunci bagi pergeseran kekuasaan (power-shift). Quinn menekankan bahwa kekuatan sebuah perusahaan tidak lagi terletak pada aset-aset kasat mata, melainkan pada yang non-kasat mata (knowledge-based intangibles), karenanya kemampuan mengelola aset non-kasat mata ini merupakan keahlian yang sangat dibutuhkan oleh para eksekutif (knowledge worker-nya Ducker) di era ini. Reich menyebut keunggulan kompetitif yang sesungguhnya akan terletak pada para ‘symbolic analyst’ yang kaya dengan pengetahuan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah baru.
2. Perbincangan yang hangat mengenai pentingnya pengetahuan dalam sebuah perusahaan atau masyarakat di kalangan para ahli di Barat, ternyata masih menyisakan pertanyaan fundamental: bagaimana atau dengan proses seperti apa pengetahuan dapat diciptakan? Adalah Nonaka dan Takeuchi (1995) yang mencoba menjawab pertanyaan ini melalui SECI model (Socialization – Externalization – Combination – Internalization) yang dikembangkannya. Dalam model ini keduanya mengambil studi kasus perusahaan-perusahaan Jepang kelas dunia. Berbeda dengan anggapan umum bahwa Jepang hanya bisa meniru, bukan inovasi, keduanya justru menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang sangat inovatif berkat kemampuannya menciptakan pengetahuan baru melalui explorasi dan exploitasi explicit knowledge dan tacit knowledge sekaligus.
3. Penjelasan Nonaka dan Takeuchi mengenai tacit knowledge sangat mengagumkan, termasuk bagi kalangan Barat. Sekalipun Michael Polanyi (1966) dalam ‘The Tacit Dimension’ sudah memperkenalkan masalah tacit knowledge ini tapi dia belum mampu menjelaskan bagaimana tacit knowledge ini berinteraksi dengan explicit knowledge menjadi sebuah organizational knowledge yang utuh. Kini ketika perbincangan mengenai explorasi dan exploitasi pengetahuan telah menjadi isu tersendiri bernama Knowledge Management (KM) (2) , SECI model Nonaka-Takeuchi menjadi salah satu model yang paling banyak dirujuk dalam literatur KM (3)
B. Apa itu KM?
1. Seorang kawan teknolog pernah mengungkapkan kebingungannya dengan munculnya istilah Knowledge Management, sebab selama ini dia sudah mengenal Technology Management. Mengapa sekarang lebih menggema istilah KM dibanding TM? Ada beberapa penjelasan tentang masalah ini:
(i) Knowledge memiliki arti lebih luas dibanding teknologi, dimana teknologi merupakan salah satu jenis knowledge (technological knowledge). Artinya, bila disebut Knowledge Management maka sudah tercakup makna Technology Management
(ii) Sebagian besar inovasi dewasa ini lebih merupakan sintesa dari existing body of knowledge daripada terobosan teknologi (technological breakthrough). Karena itu dalam literatur tentang inovasi penggunaan Knowledge lebih dominan dibanding Technology.
(iii) Inovasi sangat komplek, melibatkan beragam aktor (produsen dan konsumen, pemasok dan perakit), beragam rantai nilai (bukan hanya unit R&D, tapi juga unit Produksi, Pemasaran, dsb.), beragam pengetahuan (tasit dan eksplisit, personal dan organisasional). Karena itu dalam tradisi Schumpeterian inovasi mencakup 5 hal: inovasi produk, inovasi proses, penemuan bahan baku baru, perbaikan organisasi, dan penemuan ceruk pasar baru. Kelima cakupan inovasi itu tidak seluruhnya terkait langsung dengan persoalan teknologi.
(iv) Boleh jadi juga ada alasan subjektif pengembangnya. Para teknolog umumnya tetap prefer dengan istilah Technology Management sambil memperluas makna teknologi sehingga mencakup juga persoalan organisasi dan pemasaran. Sementara para organizational scientist (ilmuwan dan praktisi bidang organisasi) lebih prefer kepada Knowledge Management karena mereka beranggapan teknologi bagian atau salah satu jenis Pengetahuan.
2. Seperti diungkap di atas, KM lahir dari persoalan daya saing dan inovasi yang sedang dihadapi organisasi atau perusahaan disebabkan terjadinya perubahan paradigma bisnis yang telah menempatkan pengetahuan sebagai isu sentral kinerja organisasi. Di era ini, daya saing (competitiveness) ditentukan oleh sejauh mana perusahaan memiliki kemampuan inovasi terus-menerus (Porter, 1990; Nonaka & Takeuchi, 1995). Dimana kemampuan inovasi (innovativeness) ditentukan oleh seberapa besar organisasi itu memiliki cadangan pengetahuan, kemampuan belajar, dan seberapa intensiv mau melakukan innovative activities.
3. Fokus Utama KM adalah bagaimana sebuah organisasi memiliki pengetahuan khas (organization-specific knowledge) yang menjadi core-competence, dimana hasilnya mewujud menjadi sebuah brand-image. Karenanya dalam KM, sebuah organisasi harus secara terus menerus mensintesa dan menciptakan pengetahuan baru. Perdefinisi, pengetahuan adalah informasi yang sudah diberi konteks (context-specific information), karenanya penumpukan informasi (information hoarding) dari luar tidak akan serta-merta membuat sebuah organisasi memiliki pengetahuan khas. Penekanan pada penciptaan pengetahuan khas melalui serangkaian proses kontekstualisasi, learning, sharing, synthesizing, dan inovasi inilah yang membedakan antara Information Management dengan KM.
4. Context-specific knowledge sangat ditentukan oleh kandungan tacit knowledge, karena itu dalam KM penciptaan pengetahuan baru merupakan proses konversi dua arah antara tacit dan explicit seperti digambarkan dalam SECI model di bawah ini.
5. Gambar di samping melukiskan proses penciptaan knowledge baru melalui 4 proses konversi: 1. Sosialisai yaitu proses penyebaran tacit knowledge yang dimiliki seorang individu sehingga menjadi dipahami oleh individu lain (tacit ke tacit); 2. Externalisasi yaitu proses menjadikan tacit knowledge yang sudah dipahami bersama menjadi explicit knowledge yang dimiliki kelompok (tacit ke explicit); 3. Combinasi yaitu penggabungan atau sintesa berbagai expicit knowledge yang dimiliki berbagai kelompok menjadi explicit knowledge baru yang dimiliki organisasi (explicit ke explicit); 4. Internalisasi yaitu proses menjadikan explicit knowledge organisasi dipahami dan dipraktekkan oleh setiap individu dalam organisasi (explicit ke tacit). Demikian seterusnya sehingga knowledge stock yang dimiliki organisasi terus membesar seperti arah spiral yang menuju keluar (4).
C. Komponen KM
1. Disadari bahwa penciptaan pengetahuan baru tak mungkin terjadi pada manajemen yang difahami selama ini yang terfokus pada pengelolaan informasi. Dibutuhkan adanya berbagai ‘enablers’ yang memungkinkan pengetahuan baru dapat tercipta setiap saat. Yang bertugas menyediakan enablers ini adalah para managers (Chief Knowledge Officer, CKO).
2. Beberapa fungsi CKO adalah:
(i) Menentukan visi (knowledge vision): penentuan arah mengenai pengetahuan kayak apa yang harus diciptakan
(ii) Mendefinisikan terus-menerus knowledge assets agar tetap relevan dengan knowledge vision.
(iii) Menciptakan ‘Ba’ (tempat) bagi proses penciptaan pengetahuan baru dan memberinya energi agar tetap kondusiv
(iv) Mengarahkan dan menggalakkan SECI process.
3. Penentuan visi dan mendefinisikan terus-menerus knowledge assets merupakan peran top managers, sementara penciptaan Ba dan pengarahan serta penggalakan SECI process merupakan tugas seluruh manager dalam setiap lapisan.
4. Ba bukan saja bersifat fisik tapi juga virtual dan mental, dimana ketiganya bersifat saling melengkapi. Sekalipun teknologi intranet (virtual) sangat memungkinkan terjadinya tukar menukar pengetahuan (knowledge sharing) secara masiv, namun komunikasi interpersonal (fisik) tetap diperlukan terutama untuk saling tukar tacit knowledge. Sementara mental model dibutuhkan agar knowledge sharing, baik secara virtual maupun interpersonal, tidak mengalami hambatas psikologis. Ungkapan “the more digital, the more analog” menggambarkan bahwa semakin canggih penerapan suatu sistem IT dalam bisnis justru semakin membutuhkan kemampuan analisa menggunakan conventional analogue knowledge seperti insight tentang kebutuhan partner atau customer. Karenanya, ketiga jenis Ba itu semuanya tetap diperlukan.
D. Implementasi KM
1. Jelas bahwa inti dari KM adalah knowledge sharing and creation, sementara IT adalah supporting system atau enabler. Pertanyaannya, bagaimana setiap anggota organisasi memiliki kemauan untuk terlibat dalam sharing dan creation tadi? Ini berakitan dengan persoalan mental model, terutama motivasi. Ada dua jenis motivasi yaitu ekstrinsik dan intrinsik. Yang pertama muncul karena adanya tarikan dari luar seperti reward, sementara yang kedua lahir dari dorongan internal yang bersangkutan seperti keinginan memberi kontribusi sosial. Yang pertama bersifat temporer, sementara yang kedua dapat diharapkan bersifat langgeng. Untuk itu disamping menyediakan reward, maka yang jauh lebih penting adalah menumbuhkan internal motivation. Ini merupakan bagian dari fungsi CKO dalam menciptakan Ba dan memberinya energi seperti diungkapkan di atas.
2. Intrinsic motivation sangat tergantung pada kondisi hubungan sosial antara organisasi dengan anggotanya dan antar sesama anggota, yang dalam sosiologi disebut sebagai modal sosial (social capital, SC). Di dalam SC termasuk diantaranya sense of belonging (rasa memiliki organisasi), sense of togetherness (rasa kebersamaan) dan trustworthiness (saling percaya).
Wawancara penulis dengan para penanggung jawab pelaksanaan KM di CIFOR (Center for International Forestry Research), BI (Bank Indonesia), dan PWC (Price Waterhouse and Cooper) pada tahun 2002 menunjukan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi ketiga organisasi ini dalam pelaksanaan KM adalah lack of knowledge sharing culture. Padahal, infrastruktur IT yang dimiliki ketiganya sangat canggih, termasuk kategori seamless IT. Hal ini juga terjadi pada salah satu retail Jepang, Itoyokado, yang meskipun IT infranya sangat bagus namun knowledge sharing tidak terjadi (Shinozaki & Nagata, 2003).
3. Menyadari hal tersebut, CIFOR merancang program implementasi KM dengan menitik beratkan pada penumbuhan SC ini. CIFOR menyadari bahwa KM adalah terutama persoalan manusia, bukan IT. Seperti tergambar pada poster di samping.
4. Penerapan KM dalam ketiga organisasi itu memiliki tujuan beragam sesuai jenis usahanya namun secara umum ketiganya bertujuan memenangkan persaingan. Sebagai the big 5,, PWC tentu selalu berusaha menciptakan daya saing agar selalu menjadi terbaik di hadapan cliennya, demikian juga CIFOR sebagai salah satu di antara 16 Future Harvest Centers di bawah CGIAR (Consultative Groups on Intgernational Agricultural Research) selalu berusaha menjadi yang terbaik di hadapan user dan stakeholder sehingga kucuran dana dari donor berjalan lancar. Bagi BI, sekalipun tidak memiliki pesaing secara langsung namun berkepentingan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan moneter yang kredibel sehingga citranya direkognisi oleh public nasional secara baik. Bahkan di tingkat regional dan internasional, BI pun berkepentingan untuk menjadi bank central yang dihargai dan diperhitungkan.
5. Ketiganya percaya bahwa penerapan KM akan membuat mereka memiliki specific knowledge yang akan membuatnya memiliki daya saing lebih baik. Mengingat ketiganya baru melaksanakan KM dalam 2-3 tahun terakhir ini sudah barang tentu hasil dari pelaksanaan KM ini masih perlu kita tunggu.
E. Penutup
1. KM sebagai sebuah konsep yang tumbuh dan berkembang di negara-negara maju, saat ini lebih banyak mengungkap studi-studi kasus di negara-negara tersebut, secara khusus di institusi perusahaan yang umumnya berskala besar. Masih sedikit kajian-kajian di perusahaan-perusahaan negara-negara berkembang. Adalah sangat bagus bila kita di Indonesia mampu melakukan penelitian mengenai kemungkinan penerapan KM ini di berabagai perusahaan di negara kita dan mencoba merumuskan apa yang perlu disesuaikan dari konsep-konsep KM di negara maju bila diterapkan di negara berkembang.
2. Adalah juga tak kalah penting untuk meneliti kemungkinan penerapan KM di institusi di luar perusahaan seperti di lembaga pendidikan. Di Jepang, beberapa universitas seperti JAIST dan Hitotsubashi University sedang mencoba menerapkan KM ini. Penerapan KM di lembaga-lembaga apapun diharapkan akan menjadi pendorong tumbuhnya unit-unit produktif yang memiliki daya saing yang tinggi baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Semoga!
notes:
(1) Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar Program Studi Tata Niaga, Jurusan Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada tanggal 5 Mei 2004.
(2) Penulis belum (boleh jadi tidak perlu) mengetahui siapa yang pertama kali memperkenalkan istilah Knowledge Management ini. Tokoh-tokoh yang penulis sebutkan sebelumnya lebih banyak berbicara pentingnya Knolwdge dalam manajemen dan organisasi, tapi tidak secara khusus menyebutnya sebagai KM. Bahkan hingga tahun 2000 Nonaka (Krogh, Ichijo, & Nonaka, 2000) menegaskan bahwa knowledge tak dapat dikelola (can’t be managed) melainkan dapat dihidupkan (be enabled). Namun kini, dengan derasnya penyebutan istilah KM, Nonaka dan Takeuchi yang kini keduanya guru besar pada Hitotsubashi University justru menerbitkan buku berjudul ‘Hitotsubashi on Knowledge Management’ (2004) yang menunjukan kesetujuannya dgn istilah KM.
(3) Dalam survey terkini (Choo & Bontis, 2002) buku Nonaka dan Takeuchi (1995) yang pertama kali memperkenalkan SECI model menjadi buku yang paling banyak dirujuk dalam literatur KM.
(4) Sebuah organisasi yang tidak mampu melakukan penciptaan pengetahuan maka akan mengalami hal yang sebaliknya yaitu gerak spiral yang menuju ke dalam sehingga tidak lagi memiliki organization-specific knowledge.
Sumber: